Jumat, 05 November 2010

Takson dibawah Spesies

Takson di Bawah Spesies (Infraspesific Taxa)
v    Individu
v    Forma
v    Varietas
v    Anak Jenis  
Individu
Individu merupakan satuan organik yang paling sederhana dalam sistem alam raya makhluk hidup. Individu-individu yang menyusun jenis atau bagian-bagiannya secara keseluruhan disebut populasi.
Populasi pada umumnya didefinisikan sebagai sekelompok individu yang semacam, mempunyai persamaan-persamaan umum dan menghuni tempat yang sama pada saat bersamaan
Individu-individu dalam suatu populasi akan berkembang biak, saling kawin-mengawini dan bertukar gen, mati, pindah tempat, terpecah belah atau bergabung dengan populasi lainnya namun ciri dasar populasi itu secara keseluruhan bersifat tetap  
Forma
n    Dalam suatu populasi jenis, kadangkala dijumpai adanya variasi bentuk yang jelas berbeda dengan anggota populasi lainnya tapi tidak menunjukkan pola persebaran tertentu. Kesatuan ini disebut forma, yang seringkali terjadi dalam populasi yang muncul secara sporadis dan terbatas tapi dengan ciri-ciri yang mantap.
n    Forma merupakan peringkat taksonomi terendah yang diberi pengakuan taksonomi dan nama ilmiah (di luar individu) karena mudah dikenal (misalnya karena perbedaan warna bunga, bentuk atau ukuran daun, dll)
Varietas
n    Varietas dalam lingkup pertanian dipakai untuk mengacu segala macam bentuk variasi jenis tanaman, untuk ini istilah yang lebih tepat harusnya kultivar (cultivated variety)
n    Kultivar tercipta karena adanya usaha manusia untuk terus mendapatkan bibit tanaman yang unggul dengan jalan pemuliaan tanaman melalui seleksi, persilangan, dll. Kultivar tidak diberi nama ilmiah dalam bahasa Latin tetapi hanya diberi nama atau petunjuk fantasi.
n    Untuk keperluan klasifikasi, ahli-ahli taksonomi pada umumnya menganggap bahwa varietas adalah sebagian dari suatu populasi yang terdiri atas satu atau beberapa anggota yang mempunyai ciri morfologi yang nyata dan tersebar dalam daerah terbatas/lokal. Varietas bisa dikatakan sebagai ras lokal dari populasi jenisnya.
n    Variasi yang menjadi ciri varietas dapat berhubungan dengan faktor geografri, ekologi, sitologi atau gabungan ketiganya
Anak Jenis/Subspecies
n    Anak jenis merupakan populasi yang terdiri atas beberapa anggota yang mempunyai daerah penyebaran yang meluas sampai meliptui wilayah atau kawasan.
n    Anak jenis dapat dianggap sebagai ras-ras geografi dari populasi jenisnya, terpisah satu sama lain oleh adanya perbedaan ciri-ciri morfologi tapi di antaranya tidak terdapat penghalang genetika sekalipun daerah penyebarannya mungkin terpisah jauh satu sama lain.
n    Luas tingkat penyebaran (sporadik untuk forma, lokal untuk varietas dan kawasan/regional untuk anak jenis) tidak selamanya berimbangan dengan perbedaan-perbedaan ciri morfologi takson-takson bersangkutan
n    Perbedaan antara sesama anak jenis adakalanya tidak setajam atau sebanyak perbedaan-perbedaan antara varietas, atau bahkan antara forma-forma dalam satu jenis.
v    Dari segi total hilangnya biodiversitas, mengapa efek tidak langsung jauh lebih penting dibanding pengaruh langsung?
Salah satu proses yang terus berlanjut pada tahun1990-an yang memerlukan waktu pemulihan selama jutaan tahun adalah hilangnya keanekaragaman genetic dan spesies karena rusaknya habitat alam (E.O Wilson, 1990). Penyebab hilangnya diversitas biologi terutama oleh manusia ada yang secara langsung maupun tidak langsung.
Penyebab secara langsung seperti perburuan, koleksi, persekusi, dll. Sedangkan efek dari hilangnya biodiversitas secara tidak langsung adalah perusakan habitat, modifikasi habitat, dll.
Hilangnya biodiversitas secara tak langsung ini efeknya lebih mengerikan daripada hilangnya biodiversitas secara langsung. Karena yang hilang dari biodiversitas secara tak langsung itu adalah habitat, ekosistem maupun tempat hidup dari suat makhluk hidup. Kehilangan ini semua dapat mengakibatkan punahnya suatu organisme bahkan populasi. Karena yang istilahnya “di acak-acak” oleh manusia adalah tempat hidup dari organisme tersebut. Kalau efek langsung itu kan seperti perburuan, koleksi, dll. Yang diambil hanya satu atau beberapa spesies, jadi tidak terlalu berefek. Berefek juga, tapi efeknya itu juga tidak terlalu signifikan. Karena tidak sampai terjadi kepunahan. Kalaupun terjadi kepunahan, itu karena diburu setiap waktu. Bila tempat hidupnya yang diubah, maka organisme itu akan beradaptasi. Bila organisme itu tidak bisa beradaptasi, maka akan terjadi kepunahan.


Kamis, 04 November 2010

Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang Sebagai Bahan Pengawet kayu Ramah Lingkungan


Udang adalah binatang yang hidup di perairan, khususnya sungai maupun laut atau danau. Udang dapat ditemukan di hampir semua “genangan” air yang berukuran besar baik air tawar, air payau, maupun air asin pada kedalaman bervariasi, dari dekat permukaan hingga beberapa ribu meter di bawah permukaan (Indriyatmoko, 2009).
Potensi produksi udang di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat. Selama ini potensi udang Indonesia rata-rata meningkat sebesar 7,4 persen per tahun. Data tahun 2001, potensi udang nasional mencapai 633.681 ton. Dengan asumsi laju peningkatan tersebut tetap, maka pada tahun 2004 potensi udang diperkirakan sebesar 785.025 ton. Dari proses pembekuan udang untuk ekspor, 60-70 persen dari berat udang menjadi limbah (bagian kulit dan kepala) sehingga diperkirakan akan dihasilkan limbah udang sebesar 510.266 ton.
Limbah sebanyak itu, jika tidak ditangani secara tepat, akan menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan, karena selama ini pemanfaatan limbah cangkang udang hanya terbatas untuk pakan ternak saja seperti itik, bahkan sering dibiarkan membusuk.
Cangkang udang mengandung zat khitin sekitar 99,1 persen. Jika diproses lebih lanjut dengan melalui beberapa tahap, akan dihasilkan khitosan, yaitu:
1. Dimineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir, dikeringkan di bawah sinar Matahari sampai kering, lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur asam klorida 1,25 N dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut dibanding kulit udang, lalu dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80°C selama 24 jam.
2. Deproteinisasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi kemudian dicampur dengan larutan sodium hidroksida 3,5 persen dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang udang 6:1. Selanjutnya dipanaskan pada suhu 90°C selama satu jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehingga diperoleh residu padatan yang kemudian dicuci dengan air sampai pH netral dan dikeringkan pada suhu 80°C selama 24 jam.


3. Deasetilisasi khitin menjadi khitosan
Khitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (60 persen) dengan perbandingan 20:1 (pelarut dibanding khitin), lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140°C. Larutan kemudian disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian dengan air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70°C selama 24 jam.
Khitosan memiliki sifat larut dalam suatu larutan asam organik, tetapi tidak larut dalam pelarut organik lainnya seperti dimetil sulfoksida dan juga tidak larut pada pH 6,5. Sedangkan pelarut khitosan yang baik adalah asam asetat.
Pada saat ini khitosan banyak dimanfaatkan dalam bidang industri, perikanan, dan kesehatan di luar negeri, seperti untuk bahan pelapis, perekat, penstabil, serta sebagai polimer dalam bidang teknologi polimer.
Setelah khitosan diperoleh, pada dasarnya semua metode pengawetan kayu, yaitu metode pengawetan tanpa tekanan, metode pengawetan dengan tekanan, metode difusi, dan sap replacement method, bisa dipakai.
Aplikasi khitosan sebagai bahan pengawet kayu terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan jamur pelapuk kayu dan beberapa jenis jamur lain, seperti Fusarium oxysporum dan Rhizoctania solani, serta meningkatkan derajat proteksi kayu terhadap rayap kayu kering dan rayap tanah. Bahkan, kayu yang diawetkan dengan khitosan dengan metode perendaman teksturnya menjadi lebih halus.
Ini sesuai dengan sifat khitosan yang dapat membentuk lapisan film yang licin dan transparan. Hal tersebut menunjukkan bahwa khitosan memiliki potensi sebagah bahan finishing yang mampu meningkatkan tekstur permukaan kayu.
Untuk kayu-kayu berwarna terang, seperti nyatoh kuning, sengon, ramin, dan pinus, pengawetan dengan khitosan dapat meningkatkan penampilan kayu dalam hal warna kayu menjadi lebih terang. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh zat warna karotenoid yang terdapat pada udang. Namun, untuk mendapatkan hasil yang bagus, dalam proses pengawetan harus diperhatikan mengenai kondisi kayu, metode pengawetan, jenis bahan pengawet, perlakuan sebelum pengawetan terhadap kayu, dan konsentrasi bahan pengawet.
Dari segi lingkungan, penggunaan khitosan sebagai bahan pengawet kayu relatif aman karena sifatnya yang non toxic dan biodegradable. Sebab, selama ini bahan pengawet yang sering digunakan merupakan bahan kimia beracun yang kurang ramah lingkungan dan unbiodegradable.
Dari sisi ekonomi, pemanfaatan khitosan dari limbah cangkang udang untuk bahan pengawet kayu sangat menguntungkan karena bahan bakunya berupa limbah dan berasal dari sumber daya lokal (local content).
Untuk ekstrasi khitin dari limbah cangkang udang rendemennya sebesar 20 persen, sedangkan rendemen khitosan dari khitin yang diperoleh adalah sekitar 80 persen. Maka dari itu, dengan mengekstrak limbah cangkang udang sebanyak 510.266 ton, akan diperoleh khitosan sebesar 81.642,56 ton.
Jumlah yang sangat besar mengingat sebagian besar bahan pengawet kayu yang digunakan selama ini masih diimpor sehingga akan menghemat devisa negara. Untuk ke depannya, apabila limbah cangkang udang ini dikelola dengan teknologi yang tepat, akan menjadi alternatif bahan pengawet murah, alami, ramah lingkungan, dan bisa mendatangkan devisa negara jika diekspor ke luar negeri.
Karena pengawetan kayu dengan bahan pengawet alami, selain ramah lingkungan, juga menambah masa pakai kayu yang nantinya akan dapat menghemat penggunaan kayu secara nasional sehingga dapat mencegah terjadinya peningkatan kerusakan hutan dan membantu merealisasikan asas pelestarian hutan.

Sumber:

Indriyatmoko. Serba Serbi Budidaya Udang Vaname. http://www.bisnisukm.com [22 Desember 20009].

Prasetiyo, K.W. Pemanfaatan Limbah Cangkang Udang. UPT Balai Litbang Biomaterial, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Museum Zoologicum Bogoriense


  Visi dan Misi:   Menjadi acuan dan pusat informasi terpercaya mamalia Indonesia   
Koleksi:   Indonesia memiliki sekitar 701 jenis hewan mamalia sehingga menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara terkaya dalam keanekaragaman jenis mamalia.  Sampai saat ini (Juli 2009) koleksi ilmiah hewan mamalia terdiri dari sekitar 470 jenis (± 32.000 spesimen).  Kekayaan koleksi ilmiah mamalia ini merupakan kebanggaan bangsa Indonesia.  Koleksi ini sangat bermanfaat untuk kepentingan ilmiah antara lain: materi penelitian, bahan referensi, sumber data keragaman jenis dan bahan pendidikan 
Program :  
  1. Melakukan kajian biosistematika karakter hewan mamalia, inventarisasi dan evaluasi keberadaannya, dan potensinya.
  2. Peningkatan kapabilitas staff peneliti mamalia melalui penguatan kompetensi, kerjasama, pendidikan dan pelatihan
  Penelitian :   Laboratorium Mamalia melakukan penelitian yang mencakup biosistematika, keanekaragaman, sebaran dan potensi hewan mamalia yang bertujuan pada konservasi dan pendayagunaan secara berkesinambungan.  Puluhan jenis/anak jenis baru dan rekaman baru (new record) hewan mamalia telah dideskripsi oleh staff peneliti Laboratorium Mamalia.   Pelayanan dan Jasa  
  1. Identifikasi mamalia
  2. Konsultasi
  3. Pengawetan dan pembuatan spesimen ilmiah mamalia
  4. Pembibingan dan pengajaran
  5. Ceramah

Bidang Zoologi, Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, merupakan lembaga yang mempelopori penelitian dalam keilmuan fauna. Lembaga ini dulu dikenal dengan nama Museum Zoologicum Bogoriense (MZB) yang didirikan oleh J.C. Koningsberger pada bulan Agustus 1894.

Sejak berdirinya sampai dengan tahun 1997, Bidang Zoologi menempati gedung bersejarah di dalam Kebun Raya Bogor, yang secara ilmiah merupakan kebun raya terkenal di dunia. Di dalamnya termasuk pameran umum, yang menyajikan keanekaragaman fauna Indonesia. Sejalan dengan perkembangan ilmu agar kegiatan penelitian dapat ditampung, maka Bidang Zoologi pindah dan menempati gedung baru di Pusat Ilmu Pengetahuan Cibinong (Cibinong Science Centre). Gedung yang diberi nama Widyasatwaloka ini dibangun dengan bantuan dana dari Pemerintah Jepang pada tahun 1997. Sedangkan fasilitas penyimpanan koleksi diadakan dengan bantuan dana GEF/Word Bank dalam rangka peningkatan kualitas dan pengelolaan koleksi ilmiah specimen bertaraf internasional. Demikian juga laboratorium genetika, biologi reproduksi dan nutrisi yang saat ini sudah berstandar dunia. Fasilitas baru ini meningkatkan perkembangan lebih lanjut dari Bidang Zoologi. Jumlah specimen yang dikoleksi untuk menunjang kegiatan penelitian biosistematika, ekologi dan fisiologi meningkat pesat.

Bidang Zoologi bertekad untuk menjadi lembaga pelopor yang mampu memberikan informasi ilmiah tentang fauna Indonesia.